Adab Amalan Fatwa Hadits Nasehat Penting Puasa Ramadhan Ulama Wanita

Panduan Lengkap I'tikaf


Bismillah, sudahkah Anda berniat untuk tidak melewatkan kesempatan emas 10 hari terakhir di bulan Ramadhan ini dengan menyampaikan seluruh pengharapan dan doa (bermunajat) serta ibadah sepenuh hati dengan ber-i’tikaf di masjid?
Jika iya, Anda berada di tempat yang benar..

Sebelum ber’itikaf mari kita simak kembali beberapa penjelasan dari Kitab Bulughul Maram oleh Al Hafizh IBn Hajar Al Asqalany dan syarahnya oleh Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfurry

*Diriwayatkan Abu Hurairah rodhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullahi shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan dasar keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Muttafaq Alaihi)

Menurut bahasa, I’tikaaf ialah
menahan, berdiam dan menetap. Sedangkan menurut syariat, I’tikaaf ialah berdiamnya seseorang di masjid dengan sifat tertentu. Sementara yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan ibadah pada malam harinya, baik shalat maupun membaca Al Qur’an. Qiyam Ramadhan pada umumnya dipergunakan untuk menyebut shalat Tarawih. Sabdanya shollallahu 'alaihi wa sallam, karena iman yakni membenarkan janji Allah berupa pahala, bermakna bahwa ia beribadah karena keimanannya. Yakni keimanannyalah yang mendorongnya untuk melakukan qiyam, bukan sesuatu yang lain. Ini mengisyaratkan keikhlasan niatnya dari kotoran riya, dan “ ihtisab” yakni mencari wajah Allah dan pahalanya.

Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu 'anha, ia berkata,” Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullahi shollallahu 'alaihi wa sallam mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya (Muttafaq Alaihi)

Makna mengencangkan kain sarungnya, ini adalah kinayah tentang tekunnya beribadah, mencurahkan waktu untuknya dan bersungguh-sungguh di dalamya. Ada yang berpendapat, yang dimaksud dengannya ialah menjauhi istrinya (jimak-er) untuk menyibukkan diri dengan peribadatan. “ Menghidupkan malamnya” yakni menghidupkan seluruh malam dengan begadang untuk melakukan shalat dan selainnya, atau menghidupkan sebagian besarnya dan ”membangunkan keluarganya” yakni membangunkan mereka dari tidur untuk beribadah dan shalat.

*Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu 'anha, ia berkata, ”Jika Rasulullahi shollallahu 'alaihi wa sallam ingin melakukan I’tikaf, beliau mengerjakan shalat Shubuh , baru kemudian masuk ke tempat I’tikafnya (Muttafaq Alaihi)

Pernyataannya, “shalat Shubuh” yakni pada pagi 21 Ramadhan. Maksudnya beliau terfokus dan menyepi di dalamnya setelah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu dimulainya waktu I’tikaf. Bahkan waktu I’tikaf dimulai sebelum maghrib pada Malam ke 21 dalam keadan beri’tikaf lagi berdiam di masjid secara umum. Ketika setelah selesai shalat Subuh beliau menyendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam An Nawawi. Takwil ini harus dilakukan untuk mengkompromikan antara hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits ini.

*Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu 'anha, ia berkata,” Rasulullahi shollallahu 'alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya ke kamarku dan aku menyisir rambutnya. Dan jika sedang I’tikaf beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada keperluan.” (muttafaq Alaihi)

Maksudnya menggunakan sisir di rambut kepala, maksudnya aku menyisirnya dan meminyakinya. Di dalamnya terdapat dalil bahwa mengeluarkan sebagian tubuh orang yang beri’tikaf di Masjid itu tidak membatalkan I’tikaf , dan hadits ini juga terdapat dalil tentang bolehnya laki-laki menjadikan istri sebagai pelayannya. “kecuali jika ada keperluan” seperti kencing, buang air besar , muntah, mandi jinabat, buang ingus dan selainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

*Diriwayatkan beliau pula, ia berkata,” Sunnah bagi orang yang ber-I’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh wanita dan tidak mencumbunya . Tidak keluar untuk suatu kepentingan kecuali jika memang harus . Tidak sah I’tikaf kecuali jika dibarengi dengan puasa dan tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid Jami.” (Hr Abu Dawud, Perawi-perawinya baik, hanya saja yang kuat bahwa perkataan yang terakhir hukumnya mauquf)

“Dan tidak sah I’tikaf kecuali dibarengi dengan puasa.” Mengenai hal ini terdapat perselisihan yang besar, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa itu tidak disyaratkan. “Masjid jami ‘ yaitu masjid yang diselenggarakan di dalamnya shalat-shalat (berjama'ah lima waktu-er). “hanya saja pendapat yang kuat bahwa bahwa perkataan yang terakhir hukumnya mauquf, ”yakni dari ucapannya “dan tidak sah I’tikaf kecuali dibarengi dengan puasa.” Ad daruquthni menegaskan bahwa kadar hadits Aisyah adalah sampai lafadz “Dan tidak keluar untuk suatu kepentingan” sementara selain lafadz itu adalah dari perawi lain.” Demkian dari Fathul Bari

*Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa rodhiyallahu 'anhuma bahwa beberapa orang shahabat Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam bermimpi melihat malam Lailatul qadr pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullahi shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Menurut dugaanku, kalian bermimpi pada tujuh hari terakhir. Barang siapa ingin mencari malam tersebut, maka carilah pada tujuh malam terakhir (Muttafaq Alaihi)

Pernyataannya, “pada tujuh malam yang terakhir” yakni pada tujuh malam yang tersisa dari akhir Ramadhan. Dengan demikian permulaannya adalah malam 23.Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan malam tersebut…” dan pendapat yang paling sahih dan paling kuat dalilnya bahwa ia terdapat pada bilangan ganjil dari sepuluh malam yang terakhir dan berpindah-pindah. Terkadang pada malam 21, terkadang pada malam 23, terkadang malam 25, terkadang malam 27 dan terkadang malam 29. Adapun riwayat yang menyebutkan penentuan sebagian malam secara pasti, dan sebagaimana dalam hadits-hadits lainnya bahwa ia adalah malam 21 atau malam 23, maka ini memang demikian pada tahun tertentu. Bukan berarti bahwa ia demikian seterusnya hingga akhir masa . Tetapi ada yang menyangka bahwa ia memang demikian hingga selamanya, sehingga terjadilah perselisihan yang tajam karenanya.

*Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu 'anha, ia berkata : Aku katakan wahai Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan jika aku mengetahui malam lailatul Qadr itu? Beliau menjawab,” Ucapkanlah Allahuma innaka afuwwun tuhibbul Afwa fa’fu annii (Ya Allah sensungguhnya Engkau Maha pemaaf , suka memaafkan maka maafkanlah aku ). Hadits diriwayatkan oleh lima imam selain Abu Dawud dam dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim. (Lr/bulughul Maram)


I’tikaf (iktikaf) bagi wanita
Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, dengan syarat : 
ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. Ummul Mu'minin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Diperbolehkan bagi wanita mustahadhoh untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhoh beri’tikaf bersama beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (H.r. Al-Bukhari)

Waktu Berakhirnya I'tikaf

Setelah kita mengetahui adab-adab dalam beri'tikaf, lantas kapan waktu berakhirnya? Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan, “Seorang yang beri’tikaf mengakhiri i’tikafnya apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied. (Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/119; Asy Syamilah).

Sebagian ulama salaf menganjurkan agar seorang tetap tinggal beri’tikaf pada malam ‘Ied dan baru mengakhirinya ketika hendak melaksanakan shalat ‘Ied. Imam Malik menyatakan bahwa dia melihat sebagian ulama apabila beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, mereka tidak pulang ke keluarga mereka hingga mereka menghadiri shalat ‘Ied bersama manusia.” (Al Muwaththa:1/315).

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Asy Syafi’i dan murid-murid beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya dia memasuki masjid sebelum matahari terbenam pada malam ke-21 agar dia tidak terluput (untuk memperoleh Lailat al-Qadr). Dan dia keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Ied, baik bulan Ramadhan telah berakhir sempurna, atau tidak. Dan yang lebih afdhal, dia tetap tinggal di masjid (pada malam ‘Ied) sampai menunaikan shalat “Ied di masjid atau dia (tetap tinggal di masjid di malam ‘Ied) dan keluar dari masjid ketika hendak menuju tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Ied, jika dia mengerjakannya disana.”(Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.)

Demikianlah risalah ini saya kumpulkan dari beberepa sumber, semoga Romadhan kali ini dapat kita maksimal dengan ibadah kepada Allah, serta diterima olehNya sehingga di akhirat kelak kita dapat memetik buahnya yang manis, Allahumma aamiin.

Baca Juga

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tuliskan tanggapan Anda, asalkan dengan memperhatikan ADAB, KESOPANAN, TIDAK MENCELA ATAU MEMFITNAH, SERTA MEMBUKA AIB PERORANGAN ATAU KELOMPOK KECUALI DENGAN BUKTI YANG BENAR ATAU MEMBERIKAN MANFA’AT BAGI PEMBACA LAINNYA!
Komentar Anda akan dipertimbangkan dahulu oleh Tuan Rumah, apakah pantas untuk dipublikasikan atau tidak, jadi mohon bijak dalam berkomentar…

Back to top