Nasehat Penting

Nikmatnya Surga, Dahsyatnya Neraka

Bismillah,

Salah satu di antara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengimani keberadaan Surga (Al Jannah) dan Neraka (An Naar). Salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..” (QS. Al-Baqarah : 24-25).

Mengimani surga dan neraka berarti membenarkan dengan pasti akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya merupakan makhluk yang dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah dan tidak akan binasa, dimasukkan ke dalam surga segala bentuk kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa. Juga mengimani bahwa surga dan neraka telah tercipta dan keduanya saat ini telah disiapkan oleh Allah ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai surga (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran : 133), dan mengenai neraka (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir.”(QS. Ali Imran : 131).[1] Oleh karena itulah, Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H) menyimpulkan dalam Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, “Surga dan neraka adalah dua makhluq yang kekal, tak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluq lain”[2].

Surga dan Kenikmatannya

Allah Ta’ala telah menggambarkan kenikmatan surga melalui berbagai macam cara. Terkadang,

Baca Selengkapnya

Share Tweet Pin It +1

0 Komentar

Hadits Imbauan kepada umat Islam Nasehat Penting

Marah Yang Terpuji

Bismillah,
Dalam kehidupan ini, terkadang manusia mengalami ketidaksabaran dan kemarahan. Terutama pada saat seseorang merasa ada gangguan yang menimpanya. Atau ketika ingin membalas gangguan yang telah menimpanya. Baik berkaitan dengan hati, badan, harta, kehormatan, atau lainnya.
Dan kemarahan itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.

Tetapi sesungguhnya tidaklah semua kemarahan itu tercela, bahkan ada yang terpuji.

MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. [1]

Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” [HR Bukhari no. 6116]

Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan melarang kepada dirinya!

Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.

Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 133-134]

Juga firmanNya,

فَمَآأُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَاعِندَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَآئِرَ اْلإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَاغَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af. [Asy Syura : 36-37].

Demikian juga orang yang mampu mengendalikan emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dijanjikan dengan bidadari surga.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَمَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قَالَ قُلْنَا الَّذِي لَا يَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ بِذَلِكَ وَلَكِنَّهُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” [HR Muslim no. 2608].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang dia kehendaki. [2]

Untuk mengatasi kemarahan yang menimpa seseorang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan resep-resep pengendaliannya. Dapat kami sebutkan secara ringkas. [3]

Pertama : Mengucapkan ta’awudz (mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan).
Kedua : Diam, tidak berbicara.
Ketiga. : Jika dia berdiri, hendaklah duduk. Jika belum reda, hendaklah berbaring.

Syaikh Muhammad Nadhim Sulthan berkata, “Kemarahan tercela adalah kemarahan pada selain al haq, tetapi mengikuti hawa nafsu, dan seorang hamba yang melewati batas dengan perkataannya, dengan mencela, menuduh, dan menyakiti saudara-saudaranya dengan kalimat-kalimat menyakitkan. Sebagaimana dia melewati batas dalam kemarahannya dengan perbuatannya, lalu memukul dan merusak harta-benda orang lain.” [4]

Jika kita telah mengetahui hal ini, maka marilah menengok bersama terhadap panutan dan tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kesabaran luar biasa yang layak untuk kita contoh. Perhatikanlah perkataan Anas bin Malik di bawah ini.

عَنْ ثَابِتٍ يَقُولُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ وَلَا لِمَ صَنَعْتَ وَلَا أَلَّا صَنَعْتَ

Dari Tsabit, dia berkata, Anas Radhiyallahu 'anhu bercerita kepada kami, dia berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata kepadaku,’huh’. Juga tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku melakukan sesuatu),’Kenapa engkau melakukan?’ Dan tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku tidak melakukan sesuatu),’Tidakkah engkau melakukan?’.” [5].

MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah kemarahan karena Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar. [6]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali t berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya) terbatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih syahwat yang dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan pahala. Dan hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ وَيُذْهِبَ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mu'min. [At Taubah : 14-15].” [7]

Jika kita telah mengetahui hal di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di antara dua perkara sama sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” [8]

Demikian juga beliau tidak pernah memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” [9]

‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia menjawab, “Aklhak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an” [10].

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yaitu, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beradab dengan adab-adab Al Qur’an dan berakhlak dengan akhlak-akhlak Al Qur’an. Apa saja yang dipuji oleh Al Qur’an, maka itulah yang beliau ridhai (sukai). Dan apa saja yang dicela oleh Al Qur’an, maka itulah yang beliau murkai.” [11]

Jika melihat atau mendengar apa yang dimurkai Allah, maka beliau n marah karenanya, beliau berbicara tentangnya, beliau tidak diam!

Di antara sebagian sikap beliau tentang hal tersebut, ialah :

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian), sedangkan aku telah menutupkan sebuah tirai pada sebuah rak. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar. [12]. Maka setelah beliau melihatnya, lalu mencabut tirai tersebut dan bersabda,“Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan Allah.” [13] ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,“Maka tirai itu kami jadikan sebuah bantal atau dua bantal.” [14].

Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu anhu berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ

Seorang lelaki menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat sama sekali yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membikin manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia meringkaskan. [15]. Karena sesungguhnya di belakangnya [16], ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” [17]

Abdullah bin Umar berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى

Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ludah pada dinding kiblat (masjid), lalu beliau membuangnya, kemudian menghadap kepada orang-orang dan bersabda,“Jika salah seorang di antara kamu sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah wajahnya, karena sesungguhnya Alah di arah wajahnya jika dia sedang shalat.” [18].

Demikianlah, bahwa marah merupakan tabi’at jiwa manusia. Sehingga tidaklah tercela ataupun terpuji, kecuali dilihat dari sisi dampak dan niatnya. Wallahu a’lam bishshawwab.

Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadhus Shalihin I/112, Syaikh Salim Al-Hilali
[2]. HR Abu Dawud no. 4777, Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186 dan Ahmad III/440. Dihasankan oleh Syeikh Salim Al Hilali dalam Iqadhul Himam
[3]. Lihat Bahjatun Nadhirin, hal. 112
[4]. Qawaid Wal Fawaid Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 147
[5]. HR Bukhari no. 6038, Muslim no. 2309
[6]. Lihat Qawaid Wal Fawaid Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 147, Bahjatun Nadhirin I/112.
[7]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam I/369, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis
[8]. HR Bukhari no. 6126, Muslim no. 2327
[9]. HR Muslim no. 2328, Abu Dawud no, 4786, dan Ibnu Majah no. 1984
[10]. HR Muslim no. 746, dan lainnya
[11]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam I/370, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis
[12]. Yaitu gambar manusia atau hewan
[13]. Yaitu para pembuat patung (gambar) makhluk bernyawa
[14]. HR Bukhari no. 5954, Muslim no. 2107
[15]. Yaitu tidak shalat dengan panjang dan lama
[16]. Yang menjadi makmum
[17]. HR Muslim no. 466
[18]. HR Bukhari no. 406, dan lainnya

Baca Selengkapnya

Share Tweet Pin It +1

0 Komentar

Hadits Imbauan kepada umat Islam Nasehat

Terpedaya Oleh Nikmat


Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang terlena dengan kenikmatan dunia. Di antara kenikmatan yang membuat banyak orang lupa akan jati diri dan tujuan hidupnya adalah nikmat kesehatan dan waktu luang. Terutama nikmat waktu, yang begitu banyak orang lalai memanfaatkannya dengan baik. Sehingga banyak sekali waktu mereka yang terbuang percuma bahkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang bahaya.

Duduk di depan televisi seharian pun tak terasa, terhenyak sekian lama di hadapan berita-berita terbaru yang disajikan media massa sudah biasa, dan berjubel-jubel memadati stadion selama berjam-jam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola atau konser grup band idola pun rela. Aduhai, alangkah

Baca Selengkapnya

Share Tweet Pin It +1

1 Komentar

Hadits Imbauan kepada umat Islam Nasehat Perjalan Hidup

Masa Muda Cerminan Masa Tua

Bismillah,
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]

Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah sebagaimana yang Allah puji dalam kitab-Nya,

هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (٣٢)مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (٣٣)

“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada Setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 32-33). Yang dimaksud dengan menjaga di sini adalah menjaga setiap perintah Allah dan menjaga diri dari berbagai dosa serta bertaubat darinya.[2]

Menjaga Hak Allah

Di antara bentuk penjagaan hak Allah sebagai berikut.

Pertama: Menjaga shalat

Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib sebagaimana yang Allah firmankan,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar)[3]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustho di sini adalah shalat Ashar menurut kebanyakan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras orang yang meninggalkan shalat Ashar sebagaimana dalam sabdanya,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka hapuslah amalannya.”[4]

Allah Ta’ala pun memuji orang-orang yang menjaga shalatnya dalam ayat lainnya,

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al Ma’arij: 34)

Begitu pula termasuk dalam hal ini adalah dengan menjaga thoharoh (bersuci) karena thoharoh adalah pembuka shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

“Tidak ada yang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.”[5]

Kedua: Menjaga kepala dan perut

Begitu pula kita diperintahkan untuk menjaga kepala dan perut. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى

“Sifat malu pada Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepalamu dan setiap yang ada di sekitarnya, begitu pula engkau menjaga perutmu serta apa yang ada di dalamnya.”[6] Yang dimaksud menjaga kepala dan setiap apa yang ada di sekitarnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman. Sedangkan yang dimaksud menjaga perut dan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga hati dari terjerumus dalam yang haram.[7] Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 235)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)

Ketiga: Menjaga lisan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang menjamin padaku apa yang ada di antara dua janggutnya (yaitu bibirnya) dan antara dua kakinya (yaitu kemaluan), maka ia akan masuk surga.”[8]

Keempat: Menjaga kemaluan

Allah memuji orang-orang yang menjaga kemaluan dalam beberapa ayat. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“.” (QS. An Nur: 30)

وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS. Al Mu’minun: 5-6)[9]

Yang lebih penting dari hal di atas dan merupakan hak Allah yang paling utama untuk dijaga adalah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya (baca: berbuat syirik). Karena syirik adalah kezholiman yang teramat besar. Luqman pernah berkata pada anaknya,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezholiman yang paling besar.” (QS. Luqman: 13)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membonceng Mu’adz dengan keledai -yang bernama ‘Ufair-, beliau bersabda,

« يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ » . قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا »

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-Nya dan apa hak hamba yang berhak ia dapat dari Allah?” Mu’adz mengatakan, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba adalah mereka harus menyembah Allah dan tidak boleh berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang berhak ia dapat adalah Allahh tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.”[10] Inilah hak Allah yang mesti dan wajib ditunaikan oleh setiap hamba sebelum hak-hak lainnya.

Siapa yang Menjaga Hak Allah, maka Allah akan Menjaganya

Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”

Inilah yang dimaksud al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana Allah mengatakan dalam ayat-ayat lainnya.

وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ

“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 40)

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 152)

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7)

Bentuk Penjagaan Allah

Jika seseorang menjaga hak-hak Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka Allah pun akan selalu menjaganya. Bentuk penjagaan Allah ada dua macam, yaitu:

Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.

[Penjagaan melalui Malaikat Allah]

Di antara bentuk penjagaan Allah adalah ia akan selalu mendapatkan penjagaan dari malaikat Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ro’du: 11). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap hamba memiliki malaikat yang selalu menemaninya. Malaikat tersebut akan menjaganya siang dan malam. Mereka akan menjaganya danri berbagai kejelekan dan kejadian-kejadian.”[11] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka adalah para malaikat yang akan selalu menjaganya atas perintah Allah. Jika datang ajal barulah malaikat-malaikat tadi meninggalkannya.” Inilah salah bentuk penjagaan Allah melalui para malaikat bagi orang yang selalu menjaga hak-hak Allah.

[Penjagaan di Kala Usia Senja]

Begitu pula Allah akan menjaga seseorang di waktu tuanya, jika ia selalu menjaga hak Allah di waktu mudanya. Allah akan menjaga pendengaran, penglihatan, kekuatan dan kecerdasannya. Inilah maksud yang kami singgung dalam judul artikel ini.

Sebagaimana kami pernah membaca dalam salah satu buku fiqh madzhab Syafi’i, matan Abi Syuja’. Dalam buku tersebut diceritakan mengenai penulis matan yaitu Al Qodhi Abu Syuja’ (Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Asy Syafi’i rahimahullah Ta’ala). Perlu diketahui bahwa beliau adalah di antara ulama yang meninggal dunia di usia sangat tua. Umur beliau ketika meninggal dunia adalah 160 tahun (433-596 Hijriyah). Beliau terkenal sangat dermawan dan zuhud. Beliau sudah diberi jabatan sebagai qodhi pada usia belia yaitu 14 tahun. Keadaan beliau di usia senja (di atas 100 tahun), masih dalam keadaan sehat wal afiat. Begitu pula ketika usia senja semacam itu, beliau masih diberikan kecerdasan. Tahukah Anda apa rahasianya? Beliau tidakk punya tips khusus untuk rutin olahraga atau yang lainnya. Namun perhatikan apa tips beliau, “Aku selalu menjaga anggota badanku ini dari bermaksiat pada Allah di waktu mudaku, maka Allah pun menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Cobalah lihat, beliau bukanlah memberikan kita tips untuk banyak olahraga. Namun apa tips beliau? Yaitu taat pada Allah dan menjauhi segala maksiat di waktu muda.[12]

Ibnu Rajab rahimahullah juga pernah menceritakan bahwa sebagian ulama ada yang sudah berusia di atas 100 tahun. Namun ketika itu, mereka masih diberi kekuatan dan kecerdasan. Coba bayangkan bagaimana dengan keadaan orang-orang saat ini yang berusia seperti itu? Diceritakan bahwa di antara ulama tersebut pernah melompat dengan lompatan yang amat jauh. Kenapa bisa seperti itu? Ulama tersebut mengatakan, “Anggota badan ini selalu aku jaga agar jangan sampai berbuat maksiat di kala aku muda. Balasannya, Allah menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Namun ada orang yang sebaliknya, sudah berusia senja, jompo dan biasa mengemis pada manusia. Para ulama pun mengatakan tentang orang tersebut, “Inilah orang yang selalu melalaikan hak Allah di waktu mudanya, maka Allah pun melalaikan dirinya di waktu tuanya.”[13]

[Penjagaan pada keturunan]

Begitu pula Allah akan menjaga keturunan orang-orang sholih dan selalu taat pada Allah. Di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang sholih. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan, “Barangsiapa seorang mukmin itu mati (artinya: ia selalu menjaga hak Allah, pen), maka Allah akan senantiasa menjaga keturunan-keturunannya.”

Sa’id bin Al Musayyib mengatakan pada anaknya, “Wahai anakku, aku selalu memperbanyak shalatku dengan tujuan supaya Allah selalu menjagamu.”[14]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”

Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”[15]

Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan. Inilah penjagaan yang lebih luar biasa dari penjagaan pertama tadi.

Hal ini dapat kita lihat sebagaimana dalam do’a sebelum tidur yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِى وَبِكَ أَرْفَعُهُ ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِى فَاغْفِرْ لَهَا ، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ

“Dengan menyebut nama-Mu, aku meletakkan lambungku, dan dengan nama-Mu aku mengangkatnya. Jika engkau ingin menarik jiwaku, maka ampunilah ia. Jika engkau ingin membiarkannya, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hambaMu yang sholih”[16] Dalam do’a ini terlihat bahwa Allah akan senantiasa menjaga orang-orang yang sholih.[17]

Demikian pembahasan yang singkat dari hadits di atas. Semoga hadits ini bisa selalu menjadi pengingat dalam setiap langkah kita. Jagalah hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Boyolali (Jawa Tengah), 30 Shofar 1431 H (bertepatan dengan 14 Februari 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Catatan Kaki :
[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 223, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[3] Yang dimaksud shalat wusthaa terdapat lima pendapat. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Ashar. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Shubuh, Zhuhur, Maghrib atau Isya (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 1/241, Mawqi’ At Tafaasir).

Namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang dimaksud shalat wustha adalah shalat Ashar sebagaimana banyak yang meriwayatkan hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memilih pendapat ini adalah ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibrahim An Nakhoi, Qotadah dan Al Hasan (Lihat Ma’alimut Tanzil, Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 1/288, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H)

[4] HR. Bukhari no. 553, dari Buraidah.

[5] HR. Ibnu Majah no. 277, dari Tsauban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] HR.. Tirmidzi no. 2458, dari Abdullah bin Mas’ud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[7] Demikian penjelasan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 224.

[8] HR. Bukhari no. 6474, dari Sahl bin Sa’ad.

[9] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 223-224.

[10] HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30.

[11] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/114, Muassasah Qurthubah.

[12] Demikian cerita yang kami peroleh dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib, yang memberikan syarh terhadap Matan Abi Syuja’ (Ikhtishorul Ghoyah).

[13] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225.

[14] Idem.

[15] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225-226.

[16] HR. Bukhari no. 7393 dan Muslim no. 2714.

[17] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 226.
sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/masa-muda-cerminan-masa-tua.html

Baca Selengkapnya

Share Tweet Pin It +1

0 Komentar

Back to top